Label

Minggu, 23 September 2012

sejarah perkembangan ushul fiqih

-->
SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih.



Dosen:
Dr. Andewi Suhartini, M.Ag.








Disusun Oleh:
Cep Budi Zulkarnaen  (1210208015)
Hafni Awaliyah           (1210208039)
Hani Yuliani                (1210208042)
Hilda Nur’anida          (1210208044)
Lia Nur Fadilah           (1210208054)





PROGRAM STUDI MIPA PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011

-->
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ushul fiqih berkembang dengan tetap berpijak pada dasar-dasar Al-Quran dan Sunnah, Ushul fiqih sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW dan para Sahabatnya. Pada massa Rasulullah SAW untuk memahami hukum-hukum syar’i dapat langsung merujuk pada Rasulullah SAW melalui penjelasan beliau tentang Al-Quran atau melaui sunnah. Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang dibandingkan pada masa Rasulullah SAW.
Dari keterangan di atas menunjukan bahwa penginstinbathan hukum Islam mengalami perkembangan. Namun banyak sekali orang yang belum mngetahui sejarahnya. Untuk itu, penulis akan mencoba menulis tentang sejarah perkembangan ushul fiqih.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan:
1.      Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa Rasulullah SAW?
2.      Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan tabi’in?
3.      Bagaimana pembukuan ushul fiqih?
4.      Bagaimana tahap-tahap perkembangan ushul fiqih?

C.    Tujuan
Dari rumusan di atas, didapat tujuan:
1.      Mengetahui perkembangan ushul fiqih pada masa Rasulullah SAW.
2.      Mengetahui perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan tabi’in.
3.      Mengetahui pembukuan ushuul fiqih.
4.      Mengetahui tahap-tahap perkembangan ushul fiqih.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Ushul Fiqih pada Masa Rasulullah SAW

Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqih ada sebelum fiqih. Alasanya adalah bahwa ushul fiqih merupakan pondasi, sedangkan fiqih bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqih ada mendahului fiqih.[1]
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Rasulullah SAW SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Rasulullah SAW. Dalam pengutusan ini Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Rasulullah SAW, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Rasulullah SAW untuk mengembangkan Ilmu Ushul Fiqih, tapi secara tersirat jelas Rasulullah SAW telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari. Rasulullah dalam melakukan ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda : “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”[2]
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Rasulullah SAW di atas, Rasulullah SAW sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut : “Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Rasulullah SAW berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Rasulullah SAW menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Rasulullah SAW sebagai pemegang otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Rasulullah SAW sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting.
B.     Perkembangan Ushul Fiqih pada Masa Sahabat dan Tabi’in[3]
1.      Pada masa sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang artinya : “Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Baqarah : 236).
Pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqih karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
2.      Pada masa tabi’in
Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqih.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqih ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqih dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqih yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqih.
C.    Pembukuan ushul Fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra’yu. Dan Abu Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqih dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul fiqih sebelum As-Syafi’ie, bahkan As-Syafi’i berguru kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi’i lah orang yang pertama yang menyusun kitab ushul fiqih. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, “tidak diperselisihkan lagi “Imam Syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Ar-Risalah.
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni.
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al-Qur’an-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah.[4]
D.    Tahap-Tahap Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besarnya, ushul fiqih dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
1.      Tahap awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun (w.218H), Al-Mu’tashim (w.227H), Al Wasiq (w.232H), dan Al-Mutawakil (w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqih yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqih yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqih setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.
Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqih dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqih sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqih lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqih yang ada pada abad 3 H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqih yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqih, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqih tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqih dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja.[5]
2.      Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abbasiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqih Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqih semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya dengan melakukan usaha antara lain:
a.       Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
b.      Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
c.       Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqih Islam adalah sebagai berikut:
a.       Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
b.      Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang singkat
c.       Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqih. Terhentinya ijtihad dalam fiqih dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqih.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqih yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqih diantara kitab yan terekenal adalah:
a.         Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
b.        Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
c.         Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqih pada abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqih yang membahas ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqih pada awal abad 4 h, juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.[6]
3.      Tahap Penyempurnaan (abad 5-6 H)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya. Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin.[7]


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Pada zaman Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Dikarenakan timbul berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih.
Kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
B.     Saran
Ushul fiqih sangat penting dalam kehidupan sehari-hari untuk mengetahui hukum-hukum yang akan seseorang lakukan baik itu perbuatan yang ringan ataupun yang berat. Oleh sebab itu, ushul fiqih sangat perlu untuk dipelajari setiap orang-orang islam yang ada di bumi ini.


DAFTAR PUSTAKA
al-Khinn, Muhammad Sa‘id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Muassassah al-Risalah.
http://www.kosmaext2010.com/ushul-fiqh-sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.php diakses tanggal 16 September 2011 jam 10.00
Kamali, Hasim Muhammad.1996.Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset.
Syafi’i, Rahmat.2007.Ilmu Ushul Fiqih.cv pustaka setia:Bandung.



[1] Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.
[2] Kisah di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I daru Abu Sa‘id al-Khudri.

[3] Rahmat Syafi’i.2007.Ilmu Ushul Fiqih.cv pustaka setia:Bandung.
[4] Ibid. Hlm. 29.
[5] Ibid. hlm. 31
[6] Ibid. hlm. 32
[7] Ibid. hlm. 36
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar